Sudah jadi pengetahuan umum kalau selama bertahun tahun, kelapa sawit memainkan peran besar dalam perekonomian indonesia sebagai penghasil devisa andalan. Bahkan setiap tahun kelapa sawit memberikan devisa yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Malaysia masih menjadi pesaing terbesar Indonesia dalam hal produksi kelapa sawit. Padahal jika ditilik dari potensi lahan dan sumber daya manusia, Indonesia seharusnya sudah harus meninggalkan Malaysia. Hal ini disebabkan karena berbagai permasalahan dan minimnya perhatian pemerintah. Rendahnya produktivitas tanaman dan minimnya dukungan lembaga riset untuk pengembangan adalah salah satu permasalahan yang dihadapi industri kelapa sawit Indonesia. Selain itu, kurangnya promosi internasional, standardikasi bibit, terbatasnya pabrik pengolah junga menghambat perkembangan industri ini.
Pemerintah juga belum memiliki program pengembangan yang terintegrasi di sektor kelapa sawit, dibandingkan dengan pemerintah Malaysia, peran pemerintah Indonesia masih dirasa kurang. Selain itu, kurang banyaknya pelabuhan ekspor beserta kurangnya sarana memeadai dari pelabuhan yang tersedia juga sedikit banyak menghambat perdagangan. Lalu ada aturan aturan impor yang menyulitkan produsen, seperti bea cukai yang tinggi dapat mempengaruhi preferensi importir dari negara lain.
Namun, walaupun demikian, Indonesia Juga memiliki beberapa kelebihan dibandingkan negara pesaing. Jika ditata dengan baik, maka tidak mustahil Indonesia memiliki peluang yang jauh lebih besar dalam meningkatkan prospek pasar kelapa sawit di masa mendatang, bahkan meninggalkan jauh Malaysia sebagai pesaing utama.
Jembatan Timbang Kelapa Sawit
Pertama, Indonesia memiliki cadangan lahan yang relatif masih sangat luas untuk digunakan dalam sektor perkebunan kelapa sawit. Lalu biaya produksi kelapa sawit di Indonesia juga relatih lebih murah dibandingkan negara pesaing. Karena itu dengan pengelolaan yang baik, peluang Indonesia menjadi raja kelapa sawit internasional masih terbuka lebar.
Area perkebunan kelapa sawit Indonesia berada di lima provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, Kalimantan Barat, dan Jambi. Area perkebunan di beberapa provinsi tersebut juga terbagi dalam 3 macam kategori kepemilikan, yaitu perkebunan negara, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat. Pada umumnya perkebunan rakyat memiliki tingkat produktivitas terendah dibandingkan perkebunan swasta dan perkebunan negara. Hal ini biasanya dikarenakan proses produksinya masih belum secara menyeluruh dilakukan dengan cara profesional. Salah satunya minimnya penggunaan timbangan digital yang akurat sebagai acuan dalam penghitungan komersial. Padahal keberadaan jembatan timbang sangat diperlukan untuk mendukung kinerja perusahaan bidang agrobisnis seperti kelapa sawit.